You are currently browsing the tag archive for the ‘esai’ tag.

Suku Sunda dikenal sebagai salah satu suku terbesar di Indonesia. Suku Sunda atau masyarakat Sunda merupakan mayoritas penduduk Jawa Barat. Dalam catatan sejarah, pada tahun 1851 suku Sunda sudah merupakan penduduk terbesar di Jawa Barat yang berjumlah 786.000 jiwa. Data terbaru pada tahun 2008, suku Sunda diperkirakan berjumlah lebih kurang 34 juta jiwa.
Karakteristik urang Sunda adalah sifatnya yang yang cenderung enggan untuk merantau jauh dari tanah kelahirannya , apakah itu relevan dengan kondisi sekarang yang mobilitas masyarakatnya cukup tinggi, rasanya bisa kita lihat dari sisi yang saya perhatikan di beberapa tempat di pelosok Nusantara yang mempunyai beberapa kasus. Keinginan untuk merantau secara sukarela ke luar Jawa Barat adalah diajak oleh temannya atau saudaranya yang telah berhasil (Merantau temporer), kasus serupa terjadi pada Arus Balik yang terjadi setiap seminggu Setelah Idul Fitri. Yang lainnya adalah keinginannya untuk belajar di tempat yang lain. Daerah yang biasanya dituju oleh perantau Sunda adalah Jawa tengah, Jawa Timur, dan Jogjakarta.
Bagaimana Perilaku minoritas Sunda di lingkungan mayoritas Jawa? Apakah mereka diakui? Bagaimana reaksi dari kelompok-kelompok sosial itu jika mereka berinteraksi? Menurut Paul Horton Dan Chester Hunt, kelompok etnik adalah kelompok yang diakui oleh masyarakat dan oleh kelompok etnik itu sendiri sebagai suatu kelompok yang tersendiri. Terkadang suatu kelompok etnis dikatakan sebagai minoritas jika di dalam lingkungan sosial tersebut jumlah atau pengaruh mereka sedikit atau kecil. Sebaliknya, sekumpulan etnis ini dapat dikategorikan sebagai kelompok mayoritas manakala kemampuan mereka untuk mempengaruhi anggota-anggota lainnya dalam lingkungan sosial besar dan jumlah meraka relatif banyak.

Eksistensi yang beresiko
Kelompok etnis berkomunikasi, dan berinteraksi agar mereka eksis. Bila kelompok sosial tidak berusaha untuk mengeksiskan diri, maka keberadaan meraka dianggap tidak ada sama sekali. Kaitannya dengan kaum minoritas Sunda di lingkungan mayoritas Jawa, bahwa kaum minoritas ingin diakui di kalangan mayoritas dengan cara berkomunikasi, dan berinteraksi dengan kaum mayoritas. Namun ada kalanya keberadaan mereka membuat mayoritas merasa risih, dan jengah sehingga adanya sentimen negatif terhadap kelompok mayoritas. Itu wajar saja. Sikap entosentrisme yang melekat erat pada diri masing-masing kelompok akan selalu menghadirkan penilaian stereotip (prasangka) yang menganggap kelompok mereka lebih baik daripada kelompok yang lainnya. Efek buruknya, dari penilaian stereotip itu, efeknya akan memburuk menjadi sikap membedakan terhadap kelompok lain. Membedakan dalam arti yang sempit. Yaitu sikap yang mendiskriminasi untuk mempertahankan nilai-nilai esensi dari kelompok tersebut. Baik dari kelompok mayoritas, ataupun minoritas. Bahkan, ketika prasangka dan diskriminasi tidak membuat suatu kelompok puas akan perlakuannya pada kelompok lain, mereka melakukan segregasi, yaitu pemisahan wilayah untuk mengamankan daerah meraka. Perlakuan itu dimaksudkan agar wilayah meraka seril dari anggota-anggota kelompok yang mereka anggap buruk. Dalam beberapa kasus, malah terjadi lebih parah, yaitu pengusiran kelompok yang dianggap mengganggu oleh kelompok penguasa. Dan bentuk diskriminasi yang terparah pernah dilakukan oleh Adolf Hittler, yaitu dengan melakukan pemusnahan missal atau yang terkenal dengan istilah Holocaust. Kaitannya dengan minoritas Sunda dalam Lingkungan mayoritas Jawa adalah bahwa perlakuan diskriminatif yang dilakukan kelompok mayoritas mengancam eksistensi minoritas. Cara minoritas untuk tetap eksis dan situasi diskriminatif adalah dengan cara melakukan pemisahan diri (withdrawal) dari lingkungan yang kurang kondusif untuk melakukan interaksi antar kelompok yang notabene bisa menimbulkan masalah baru. Selai itu juga minoritas bisa melakukan integrasi, namun dengan berbagai syarat dan ketentuan.

Integerasi yang saling memahami
Sanghiyang Siksakandang Karesian merupakan naskah yang ditulis Oleh Prabu Jayapakuan, berisi informasi tentang khazanah budaya Sunda pada masa itu. Suhamir, arsitek dan peneliti sejarah Sunda kuna yang wafat di Bandung pada 1966, menamakan naskah itu sebagai “ensiklopedi kebudayaan Sunda”. Di dalamnya disebutkan 55 nama tempat beserta bahasanya yang diketahui dan dikuasai oleh *Jurubasa Darmamurcaya *(penerjemah).
Naskah Sanghiyang Siksakandang Karesian mengungkapkan informasi bahwa orang Sunda suka merantau ke luar tanah airnya, bukan hanya di wilayah nusantara, melainkan juga sampai ke negeri Cina. Mereka biasa merantau dalam waktu yang cukup lama sehingga dapat menguasai bahasa dan kebudayaan bangsa yang didatanginya. Gambaran tersebut tercermin dalam penuturan berikut,

*”Ini ma upama jalma tandang ka Cina, heubeul mangkuk di Cina, nyaho di karma Cina, di tingkah Cina, di polah Cina, di karampesan Cina; katemu na carek tilu: kanista, madya, utama.”* (Ini mengumpamakan seseorang merantau ke Cina, lama tinggal di Cina, paham perilaku orang Cina, tingkah Cina, ulah Cina, keberesan Cina, dapat memahami bahasa ketiga golongannya, yang rendah, yang menengah, yang tinggi).

Urang Sunda, salah satu karakteristiknya yang terkenal adalah lembut, tidak ngotot dan tidak keras. Karena karakternya yang lembut banyak orang berasumsi bahwa orang sunda kurang fight, kurang berambisi dalam menggapai jabatan. Mereka mempunyai sifat ‘mengalah’ daripada harus bersaing dalam memperebutkan suatu jabatan. Tidak heran kalau dalam sejarah Indonesia, kurang sekali tokoh-tokoh Sunda yang menjadi pemimpin di tingkat Nasional dibandingkan dengan Orang Jawa.
Contohnya, tidak ada satupun presiden Indonesia yang berasal dari suku Sunda, bahkan dari sembilan orang wakil presiden yang pernah menjabat sejak zaman Presiden pertama Soekarno sampai sekarang Presiden Yudhoyono, hanya seorang yang berasal dari suku Sunda yaitu Umar Wirahadikusuma yang pernah menjabat sebagai wakil presiden di zaman Presiden Soeharto.
Dari karakternya yang suka mengalah, terkadang malah terjadi integrasi karenanya. Karena mereka sadar, pergolakan yang terjadi diantara kelompok mayoritas dan minoritas hanya akan menjadi penghalang bagi mereka untuk mengembangkan diri di tanah perantauan bagi perantau dan di tanah kelahiran bagi pribumi.
Keberadaan kelompok etnis Sunda di lingkungan Etnis Jawa menyebabkan pembauran budaya dimana dua kelompok meleburkan kebudayaan mereka, sehingga melahirkan suatu kebudayaan yang baru. Itulah yang dinamakan Asimilasi. Dalam proses ini biasanya terjadi pertukaran unsur-unsur budaya, namun pada umumnya hal semacam itu hanya terjadi apabila jika suatu kelompok menyerap kebudayaan lainnya. Dalam studi kasus, fenomena yang paling sering ditemukan adalah proses amalgamasi, yaitu proses pembauran biologis dua kelompok manusia yang masing-masing memiliki ciri-ciri fisik yang berbeda sehingga keduanya menjadi satu rumpun. Secara langsung ataupun tidak langsung, ada kecocokan antara budaya Jawa dan Sunda sehingga banyak terjadi amalgamasi diantara mereka.
Kelompok Minoritas Sunda dalam lingkungan mayoritas Jawa menjadi fenomena yang tepat untuk dipelajari. Karena didalamnya terdapat banyak pelajaran yang bisa diambil. Dari sisi sosiaologi, terjadi pergolakan fenomena sosial, seperti, disintegrasi dan integrasi. Itulah Indonesia, seperti dikutip orasi kebudayaan Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono di universitas Diponegoro tanggal 30 Oktober 2008. “Indonesia is Culturaldiversity. And we live harmony in diversity.”
***

Daftar rujukan:
Horton, Paul B. dan Chester L. Hunt, Sociology (London: McGraw-Hill, 1964).
Thio, Alex, Sociology: An Introduction (New York: Harper & Row Publishers, 1989).
Mulyana, Dedi, Komunikasi, Suatu Pengantar. (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2007).

internet
http://prasetijo.wordpress.com/
http://cianjurnews.com/portal
http://dz1792.multiply.com/
http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/0805/04/0801.htm

Gerakan Praja Muda Karana adalah organisasi kepemudaan yang berorientasi kepada pengabdian kepada Negara. Tujuan dari Gerakan Pramuka mendidik dan membina kaum muda Indonesia guna mengembangkan mental, moral, spiritual, emosional, sosial, intelektual, dan fisiknya untuk menjadi generasi muda Indonesia yang baik.

Adalah sebuah kewajiban bagi sebuah organisasi untuk mempunyai tujuan. Tanpa tujuan dan maksud, maka organisasi tersebut tidak akan mempunyai determinasi untuk mendapatkan apa yang menjadi tujuan dan cita-cita. Namun, pada dasarnya tujuan dari setiap organisasi berbeda. Disesuaikan dengan ideologi dan kepentingan dari organisasi yang menaunginya. Apapun tujuannya, organisasi mengembangkan pemikiran-pemikiran dari anggotanya yang pada akhirya menjadi kerangka maksud dan tujuan organisasi.
Dalam kehidupan berorganisasi, selalu ada dinamisasi, contohnya adalah konflik. Para peneliti dan para Teoris Konflik mencari penyebab potensial dari persinggungan yang ada di dalam organisasi, ataupun antar organisasi. Perspektif yang akan dipakai untuk membahas alasan perumusan tujuan berdirinya Gerakan Pramuka.

Sejarah Organisasi kepanduan di Indonesia dimulai oleh adanya cabang “Nederlandse Padvinders Organisatie” (NPO) pada tahun 1912, yang pada saat pecahnya Perang Dunia I memiliki kwartir besar sendiri serta kemudian berganti nama menjadi “Nederlands-Indische Padvinders Vereeniging” (NIPV) pada tahun 1916. Kenyataan bahwa kepramukaan itu senapas dengan pergerakan nasional, dapat diperhatikan pada adanya “Padvinder Muhammadiyah” yang pada 1920 berganti nama menjadi “Hisbul Wathon” (HW); “Nationale Padvinderij” yang didirikan oleh Budi Utomo; Syarikat Islam mendirikan “Syarikat Islam Afdeling Padvinderij” yang kemudian diganti menjadi “Syarikat Islam Afdeling Pandu” dan lebih dikenal dengan SIAP, Nationale Islamietishe Padvinderij (NATIPIJ) didirikan oleh Jong Islamieten Bond (JIB) dan Indonesisch Nationale Padvinders Organisatie (INPO) didirikan oleh Pemuda Indonesia.

Antara tahun 1928-1935 bermuncullah gerakan kepramukaan Indonesia baik yang bernafas utama kebangsaan maupun bernafas agama. kepramukaan yang bernafas kebangsaan dapat dicatat Pandu Indonesia (PI), Padvinders Organisatie Pasundan (POP), Pandu Kesultanan (PK), Sinar Pandu Kita (SPK) dan Kepanduan Rakyat Indonesia (KRI). Sedangkan yang bernafas agama Pandu Ansor, Al Wathoni, Hizbul Wathon, Kepanduan Islam Indonesia (KII), Islamitische Padvinders Organisatie (IPO), Tri Darma (Kristen), Kepanduan Azas Katholik Indonesia (KAKI), Kepanduan Masehi Indonesia (KMI).

Banyaknya organisasi kepanduan yang mempunyai orientasi, kepentingan-kepentingan, dan tujuan-tujuan tertentu membuatnya terlalu dinamis. Seperti Organisasi kepanduan yang berorientasi agama, politik, ideologi-ideologi tertentu, dan kepentingan-kepentingan. Dalam sejarahnya, tidak jarang terjadi persinggungan yang membuat perkumpulan kepanduan-tersebut melakukan konfrontasi yang akhirnya berujung kepada ketidakharmonisan hubungan antar pandu. Selain itu, penyusupan ideologi terlarang juga dapat terjadi di sela-sela konflik yang mengemuka di tengah-tengah komunitas pandu Nusantara. Dalam rezim orde lama, Soekarno dikenal sebagai tokoh yang simpatik terhadap paham Komunisme. Dan dengan banyaknya organiasasi kepanduan, Soekarno mengarahkan mereka agar masuk ke lingkaran Pioneer (Organisasi Kepanduan yang berorientasi Komunis). Namun, Tokoh Pemuda Nasional Hussein Mutahar tidak setuju dengan maksud Soekarno. Hingga akhirnya Organisasi kepanduan Komunis Pioneer hilang tak berbekas di Indonesia.
Perpecahan terus terjadi di dalam tubuh berbagai Organisasi kepanduan yang ada di Indonesia. Maksud dan tujuan yang berbeda-beda, buruknya Manajemen Organisasi, dan hubungan yang selalu tidak harmonis antar Organisasi, menjadi tiga dari sekian banyak alasan mengapa para Pandu di Tanah air tidak pernah bersatu. Sejatinya, apabila beberapa kelompok saling berhubungan, maka akan terjadi perkembangan Organisasi sosial (Soerjono Soekanto, 1982, hal 137), namun karena perbedaan kepentingan yang mencolok, maka tidak terjadi perkembangan organisasi sosial.

Sebulan sesudah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, beberapa tokoh kepramukaan berkumpul di Yogyakarta dan bersepakat untuk membentuk Panitia Kesatuan Kepanduan Indonesia sebagai suatu panitia kerja, menunjukkan pembentukan satu wadah organisasi kepramukaan untuk seluruh bangsa Indonesia dan segera mengadakan Konggres Kesatuan Kepanduan Indonesia. Kongres yang dimaksud, dilaksanakan pada tanggal 27-29 Desember 1945 di Surakarta dengan hasil terbentuknya Pandu Rakyat Indonesia. Perkumpulan ini didukung oleh segenap pimpinan dan tokoh serta dikuatkan dengan “Janji Ikatan Sakti”, lalu pemerintah RI mengakui sebagai satu-satunya organisasi kepramukaan yang ditetapkan dengan keputusan Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan No.93/Bag. A, tertanggal 1 Februari 1947. Dengan berbagai dinamika yang mengiringinya, pada akhirnya terbitlah Keputusan Presiden Nomor 238 Tahun 1961, tanggal 20 Mei 1961, tentang Gerakan Pramuka yang menetapkan Gerakan Pramuka sebagai satu-satunya organisasi kepanduan yang ditugaskan menyelenggarakan pendidikan kepanduan bagi anak-anak dan pemuda Indonesia, serta mengesahkan Anggaran Dasar Gerakan Pramuka yang dijadikan pedoman, petunjuk dan pegangan bagi para pengelola Gerakan Pramuka dalam menjalankan tugasnya. Tanggal 20 Mei adalah; Hari Kebangkitan Nasional, namun bagi Gerakan Pramuka memiliki arti khusus dan merupakan tonggak sejarah untuk pendidikan di lingkungan ke tiga.

Pentingnya Tujuan dalam suatu organisasi

Kehadiran Gerakan Pramuka sebenarnya mempunyai banyak arti dan manfaat. Gerakan Pramuka didirikan bukan semata-mata pelarangan atas banyaknya Organisasi kepanduan yang ada di Indonesia, atau suatu wadah yang disediakan pemerintah karena alasan tersebut. Namun lebih dari itu, Gerakan Pramuka dibentuk karena adanya kesepakatan inisiatif antar gerakan-gerakan kepanduan yang ada di Indonesia pada saat itu. Dan esensi dari tujuan gerakan Pramuka adalah menyatukan keping persatuan yang tercerai-berai. Menjadi tonggak awal eksistensi Organisasi Kepanduan yang terintegrasi secara sistem dan konsep. Menjelma menjadi sebuah cermin perjuangan bangsa Indonesia.
Dalam konteks kekuatan keanggotaan dan intensitas keikutsertaanya, Gerakan Pramuka mempunyai anggota yang memiliki loyalitas tinggi, karena pada hakikatnya mereka diikat oleh janji Tri Satya dan Dasa Dharma Pramuka yang mempunyai efek mengikat kuat dan menanamkan nilai-nilai kesetiaan yang dalam kepada anggotanya.
Dalam konteks keorganisasian, Gerakan Pramuka termasuk jenis organisasi normatif. Karena Organisasi jenis ini bertujuan untuk membantu moral suatu masyarakat dan memberikan manfaat yang nyata. Seperti dinyatakan dalam pembukaan Anggaran Dasar Gerakan Pramuka,
Bahwa kaum muda sebagai potensi bangsa dalam menjaga kelangsungan bangsa dan negara mempunyai kewajiban melanjutkan perjuangan bersama-sama orang dewasa berdasarkan kemitraan yang bertanggung jawab.
Bahwa Gerakan Pramuka, sebagai kelanjutan dan pembaruan gerakan kepanduan nasional, dibentuk karena dorongan kesadaran bertanggung jawab atas kelestarian Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Dengan asas Pancasila, Gerakan Pramuka menyelenggarakan upaya pendidikan bagi kaum muda melalui kepramukaan, dengan sasaran meningkatkan sumber daya kaum muda, mewujudkan masyarakat madani, dan melestarikan keutuhan:
– negara kesatuan Republik Indonesia yang ber-Bhinneka Tunggal Ika
– ideologi Pancasila;
– kehidupan rakyat yang rukun dan damai;
– lingkungan hidup di bumi nusantara.

Tujuan dari suatu Organisasi adalah untuk menetapkan rencana pencapaian dari apa yang diinginkan. Biasanya dipengaruhi oleh banyak faktor. Kepentingan, mimpi, hasrat, kebutuhan akan kesempurnaan, dan kesamaan seluruh tujuan tersebut menjadi alasan yang menguatkan suatu Organisasi berdiri. Namun, tujuan dari suatu Organisasi juga dapat dirumuskan dan dijadikan dasar pembentukan karena konflik, pengalaman, peristiwa yang mendasari sebuah Organisasi lahir. Fungsi konflik adalah sebagai pemicu kreativitas, pemberi tekanan pada situasi yang terjadi, dan sebagai pembuka pikiran bagi orang-orang yang ingin keluar dari konflik yang ditimbulkannya sendiri.
***

Daftar rujukan:

Republik Indonesia. 2004. Keputusan Republik Indonesia nomor 104 Tahun 2004 tentang Pengesahan Anggaran Dasar Gerakan Pramuka. Jakarta.
Republik Indonesia. 2005. Keputusan Kwartir Nasional Gerakan Pramuka No. 086 tahun 2005 Anggaran Rumah Tangga Gerakan Pramuka. Jakarta.
Soekanto, Soerjono, 1982, Sosiologi, suatu pengantar. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Horton, Paul B. dan Chester L. Hunt, 1964. Sociology. London: McGraw-Hill,
Thio, Alex. 1989., Sociology: An Introduction. New York: Harper & Row Publishers,
Mulyana, Dedi. 2007. Komunikasi, Suatu Pengantar. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

internet
http://attribute-boyman.com ; diakses tanggal 7 Mei 2008
http://gimonca.com; diakses tanggal 13 Januari 2008
http://www.pramukanet.org ; diakses tanggal 13 januari 2008
http://id,wikipedia.org ; diakses tanggal 13 Januari 2008